Izhar Ibrahim, M. Kemilau Ramadhan,
Shofwatunnisa, Windi Azizah F.
Jurusan Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam
Negeri (UIN) Jakarta Tahun 2013/2014
Abstrak
Perkembangan penduduk yang semakin
cepat langsung berpengaruh pada kerusakan lingkungan dan krisis energi terutama
masalah bahan bakar. Energi yang berasal
dari bahan bakar fosil tentunya tak dapat diperbaharui serta dalam pemakainnya
akan menghasilkan polusi yakni emisi karbon dari bahan bakar. Oleh karena itu para
ahli dan peneliti sedang gencar mencari sumber energi terbarukan yang
dapat diperbaharui dan baik bagi lingkungan. Gas hidrogen adalah salah satu
energi yang menjajikan untuk masa depan karena selain efisien juga ramah
lingkungan. Pada penelitian yang dilaksanakan pada September-Oktober 2013 di
PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dilakukan percobaan memproduksi gas
hidrogen dari limbah alumunium/alumunium foil yang di uji energinya
dengan alat fuel cell dan memanfaatkan limbah cair dari produksi gas
hidrogen dalam pembuatan tawas yang berfungsi sebagai absorben.
Kesimpulan yang didapat ialahproduksi gas yang paling banyak didapat dari
mereaksikan alumunium
foil 0,8 gram dan NaOH 3 M sebanyak 100 mL mampu menghasilkan gas
hydrogen yang cukup banyak dibuktikan dari lamanya dalam penggunaan pada alat
fuel cell.
Kata kunci
: Energi Terbarukan, Fuel cell, Ga hidrogen, Limbah alumunium, Absorben
I.
Pendahuluan
Bicara
soal energy tentunya tidak akan ada habisnya. Apalagi ditambah
persoalan-persoalan yang melanda negeri kita bahkan dunia sekalipun. Jumlah
populasi manusia yang kian lama kian meningkat langsung berpengaruh pada energy
terutama masalah bahan bakar. Energi
yang berasal dari bahan bakar fosil tentunya tak dapat diperbaharui. Tak hanya
itu,isu global pun terus mengharapkan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik
dengan mengurangi emisi karbon dari bahan bakar. Oleh karena itu kita sebagai
masyarakat harus membangun kreativitas mencari sumber energy alternative lain.
Hidrogen sangat menjanjikan sebagai sumber bahan bakar yang selain efisien juga
ramah lingkungan. Produksinya bisa melalui jalan mereaksikan antara limbah
aluminium foil/kaleng bekas aluminium dengan katalis dalam suasana basa.
Hidrogen
adalah energi sekunder sehingga tetap harus diolah dari sumber energi lain, di
antaranya selain gas alam adalah gasifikasi batu bara, elektrolisa air,
elektrolisa metanol yang masih relatif mahal, terdapat pula perubahan biogas
metan yang masih memerlukan energi panas. Untuk mendapatkan terobosan baru
proses produksi gas hidrogen, proses bioteknologi, baik itu secara fotosintesis
maupun fermentasi adalah pilihan terbaik untuk dapat menghasilkan hidrogen
dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Sejumlah spesies jasad renik dari
berbagai taksa dan tipe fisiologi mampu menghasilkan bio-hidrogen.
Banyak
manfaat yang bisa diperoleh dari bahan bakar utama hydrogen. Fuel cell
merupakan salah satu aplikasinya. Fuel cell adalah perangkat elektronika yang
mampu mengonversi perubahan energi bebas suatu rekasi elektronikia menjadi
energi listrik. Dengan fuel cell, bahan/senyawa kimia -sebagai sumber energi-
akan terus ada selama kita mengisi bahan bakar fuel cell tersebut. senyawa
kimia yang paling banyak dipakai dalam fuel cell adalah hidrogen dan oksigen. kedua senyawa tersebut dipilih
karena kelimpahannya di alam sangat banyak. Layaknya sebuah baterai, segala
jenis fuel cell memiliki elektroda positif dan negatif atau disebut juga katoda
dan anoda. Reaksi kimia yang menghasilkan listrik terjadi pada elektroda.
Selain elektroda, satu unit fuel cell terdapat elektrolit yang akan membawa
muatan-muatan listrik dari satu elektroda ke elektroda lain, serta katalis yang
akan mempercepat reaksi di elektroda. Umumnya yang membedakan jenis-jenis fuel
cell adalah material elektrolit yang digunakan. Arus listrik serta panas yang
dihasilkan setiap jenis fuel cell merupakan produk samping reaksi kimia yang
terjadi di katoda dan anoda.
Selain
fuel cell,limbah hasil produksi gas hydrogen memakai aluminium foil dengan
katalis basa juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tawas. Tawas atau Alum
adalah suatu kristal sulfat dari logam-logam seperti Li,K,Ca,Al, dan
logam-logam lainnya. Kristal tawas ini cukup mudah larut dalam air, dan
kelarutannya berbeda-beda tergantung pada jenis logam dan suhu. Tawas telah
dikenal sebagai flocculator yang berfungsi untuk menggumpalkan kotoran-kotoran
pada proses penjernihan air. Selain itu, tawas juga digunakan sebagai
deodorant, karena sifat antibakterinya.
Alum
atau tawas merupakan salah satu senyawa kimia yang dibuat dari dari molekul air
dan dua jenis garam, salah satunya biasanya Al2(SO4)3.
Alum kalium, juga sering dikenal dengan alum, mempunyai rumus formula yaitu K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O.
Alum kalium merupakan jenis alum yang paling penting. Alum kalium merupakan
senyawa yang tidak berwarna dan mempunyai bentuk kristal oktahedral atau kubus
ketika kalium sulfat dan aluminium sulfat keduanya dilarutkan dan didinginkan.
Larutan alum kalium tersebut bersifat asam. Alum kalium sangat larut dalam air
panas. Ketika kristalin alum kalium dipanaskan terjadi pemisahan secara kimia,
dan sebagian garam yang terdehidrasi terlarut dalam air.
II.
Metode Penelitian
Penelitian
dilaksanakan pada September-Oktober 2013 di Laboratorium Kimia Pusat
Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan
adalah reaktor hidrogen, alat penyimpan hidrogen, alat fuel cell,
balon, beaker glass, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, corong buchner,
pipet tetes, rak tabung reaksi, cawan petri, kertas saring, batang pengaduk,
tisu, korek api, dan timbangan analitik. Bahan
yang digunakan adalah alumunium foil, NaOH, es batu, KOH, H2SO4
(air aki), etanol, FeCl3, Zeolit, Tawas (pasar), Batu bata, air
sungai dan aquadest.
Produksi Gas Hidrogen dari Alumunium
Aluminium foil ditimbang masing-masing dengan berat 0.1 g; 0.2 g ;0.4 g; 0.8 g. Diisi Beaker
glass dengan air sampai 1/2 nya. Diisi botol dengan caustic soda (NaOH) 50 ml.
0.1 g aluminium foil dimasukkan ke dalam botol. Botol ditutup dengan balon. Direndam
botol dalam air pada Beaker glass yang telah diisi air. Setelah balon melembung
besar, lepaslah dari botol dan ikatlah dengan benang. Diulangi percobaan
pertama dengan Aluminium foil 0.2 g ;0.4 g; 0.8 g masing-masing menggunakan
NaOH 50 ml. Diukur keliling setiap balon, hitung volume gas hidrogen yang
dihasilkan. Uji balon dengan membasahi tisu yang telah dipasang pada balon
dengan etanol, kemudian tisu tersebut dibakar dengan api.
Uji
Daya Gas Hidrogen
Dirangkai alat tempat penyimpanan hidrogen. Diisi botol kaca dengan larutan NaOH 3
M sebanyak
50 mL.
Ditimbang alumunium
foil sebanyak 0.8 gram, dimasukkan alumunium
foil ke dalam botol yang berisi NaOH. Tutup botol dengan cepat (agar gas
tidak keluar). ditutup dan dilepas knock
pada botol plastik jika botol sudah mengembang (terisi oleh gas). Untuk uji gas hidrogen yang
dihasilkan, dipasang kembali knock pada tutup botol yg berisi gas. Dinyalakan alat penghisap oksigen pada fuel cell. Disambungkan alat
fuel cell dengan selang.
Ditekan knock agar gas dapat keluar sambil botol plastik ditekan.
Pembuatan
Tawas dengan KOH 20 %
Disiapkan alat dan bahan. Dibuat larutan KOH 20%. Alumnunium
foil dipotong menjadi bagian yang kecil. Potongan-potongan Alumnunium foil
ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL ditambahkan
KOH 20% sebanyak 30 mL dan dipanaskan dengan api kecil. Proses pemanasan
dihentikan sampai gelembung-gelembung gas hilang. Larutan tersebut disaring
lalu didinginkan kemudian ditambahkan dengan hati-hati 30 mL H2SO4
6 M (air aki) sambil diaduk. Setelah itu dilakukan penyaringan. Larutan
didinginkan di dalam es. Kristal tawas yang terbentuk dipisahkan dengan corong
Buchner dan dicuci dengan etanol 20 mL. Endapan dikeringkan, setelah kering
kemudian ditimbang sampai beratnya konstan.
Pembuatan Tawas dengan NaOH (soda api) 30 %
Disiapkan alat dan bahan. Dibuat larutan NaOH 30%. Alumnunium foil dipotong menjadi bagian yang
kecil. Potongan-potongan Alumnunium foil ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan
ke dalam erlenmeyer 100 mL ditambahkan NaOH 30% sebanyak 25 mL dan dipanaskan
dengan api kecil. Diulangi prosedur 5-9 diatas untuk pembuatan tawas dengan
menggunakan soda api.
Pengujian tawas dalam penjernihan
air
Tawas ditimbang masing-masing dengan massa 0.2 gram ; 0.4
gram ; 0.6 gram dan 1 gram. Dimasukkan kedalam 4 tabung reaksi masing-masing 10
ml air sungai. Dimasukkan tawas ke dalam tabung reaksi, lalu dihomogenkan dan
didiamkan.
Perbandingan tawas, batu bata,
zeolit sebagai adsorben dalam penjernihan air
Dimasukkan 10 ml FeCl3 1% ke dalam 3 tabung
reaksi. Dimasukkan masing-masing 5 gram tawas, batu bata, dan zeolit ke 3
tabung rekasi. Dihomogenkan dan didiamkan.
III. Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian kali ini kami melakukan
pemanfaatan alumunium yang dapat dikonversikan menjadi produk yang dapat
bermanfaat, yaitu produksi gas hidrogen dan pembuatan tawas.
Produksi Gas Hidrogen dari Alumunium
Ketika sepotong aluminium foil dicelupkan ke dalam larutan
natrium hidroksida, terbentuk gas yang tidak berwarna dan tidak berbau.
Gas inilah yang dinamakan gas hidrogen. Hal ini terjadi karena logam aluminium
yang bersifat amfoter. Reaksi logam
dengan asam akan menghasilkan garam dan hidrogen. Persamaan reaksinya adalah :
2Al(s)
+ 6H2O → 2Al (OH)3 + 3H2(g)
Partikel-partikel
gas hidrogen melayang-layang sehingga menimbulkan adanya tumbukan antara
partikel gas hidrogen dan dinding balon. Tumbukan ini mengakibatkan adanya
dorongan yang kemudian menghasilkan tekanan. Partikel-partikel ini menyebar ke
segala arah, menekan dinding balon menyebabkan gas tersebut mengisi semua ruang
dalam balon sehingga balon dapat mengembang. Mengembangnya balon membuktikan
adanya gas sebagai hasil reaksi.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, jumlah massa alumunium berpengaruh
terhadap lamanya reaksi, besarnya tekanan dan produksi gas hidrogen. Hal ini
dapat diamati dari balon yang terbentuk. Volume dan tekanan gas meningkat
seiring dengan bertambahnya massa dari alumunium foil. Dari hasil pengamatan,
keliling balon dari reaksi 0.1 g alumunium foil dengan 50 ml NaOH 1
M adalah 19.2 cm. Jika dibandingkan dengan massa alumunium foil 0.2 g; 0.4 g;
0.8 g secara berturut-turut adalah 21 cm; 28.6 cm; 37.5 cm. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar keliling balon, semakin besar pula volume gas yang
dihasilkan. Yaitu, 119.36L; 156.26 L; 394.73 L; dan 889.8 L secara berurutan
dari 0.1 g hingga 0.8 g.
Reaksi antara aluminium dengan NaOH merupakan jenis reaksi eksoterm. Hal ini
dapat dibuktikan dengan memegang erlenmeyer yang terasa panas pada saat
terjadinya reaksi jika dibandingkan dengan sebelum bereaksi.
Adanya ledakan pada balon yang diuji dengan api membuktikan bahwa gas tersebut
adalah gas hidrogen, karena sifatnya sangat mudah terbakar dan akan
terbakar pada konsentrasi serendah 4% H2 di udara bebas. Hidrogen
terbakar menurut persamaan kimia:
2
H2(g) + O2(g) → 2 H2O(l)
Ketika
dicampur dengan oksigen dalam berbagai perbandingan, hidrogen meledak seketika disulut dengan api.
Table
1. Hasil pengamatan produksi gas hidrogen.
No.
|
Aluminium foil
|
Keliling balon
|
1
|
0,1 g
|
19.2 cm
|
2
|
0.2 g
|
21 cm
|
3
|
0.4 g
|
28.6 cm
|
4
|
0.8 g
|
37.5 cm
|
Uji
Daya Gas Hidrogen
Kemudian dilakukan produksi dan pengujian gas hidrogen
dengan menggunakan hydrogen storage (tempat penyimpanan hidrogen) sederhana yang
telah dirangkai dan alat fuel cell. Percobaan ini bertujuan untuk menguji
apakah gas hidrogen dapat berperan sebagai sumber energi yang digunakan pada sistem
fuel cell dalam menghasilkan listrik. Reaksi antara 0.8 gram alumunium foil
dengan NaOH 3 M 100 mL menghasilkan gas hidrogen dengan tekanan yang hebat. Gas
hidrogen yang terbentuk kemudian disimpan di dalam hydrogen storage. Harus
dipastikan bahwa hydrogen storage yang digunakan harus rapat sehingga tidak ada
celah bagi gas hidrogen untuk keluar (adanya kebocoran). Berdasarkan hasil
pengamatan, hydrogen storage yang digunakan berhasil menampung seluruh gas
hidrogen hasil reaksi. Hal ini dapat diketahui dari botol plastik sebagai
hydrogen storage mengembang ketika reaksi berlangsung
Pada pengujian gas hidrogen dengan alat fuel cell, dapat
diamati bahwa gas hidrogen yang dialirkan dapat memutar kincir, namun lampu
hanya menyala redup. Gas hidrogen yang dihasilkan harus membuat kincir berputar
dan juga membuat lampu menyala. Faktor yang membuat lampu menyala redup adalah
penggunaan botol plastik sebagai tempat untuk menyimpan gas yang dihasilkan.
Sifat dari botol plastik yang kaku tidak dapat membuat gas hidrogen mengalir
secara sempurna, sehingga watt yang dihasilkan kecil dan tidak cukup untuk
membuat lampu menyala terang. Namun, Kincir yang bergerak serta lampu yang
menyala walaupun tidak ternag, cukup menunjukkan bahwa gas hidrogen dapat
digunakan sebagai sumber energi untuk dapat menghasilkan listrik.
Prinsip kerja alat fuel cell adalah proses elektrokimia di
mana hidrogen dan oksigen digunakan sebagai bahan bakar. Komponen utama fuel
cell terdiri dari elektrolit berupa lapisan khusus yang diletakkan di antara
dua buah elektroda. Proses kimia yang disebut pertukaran ion terjadi di dalam
elektrolit ini dan menghasilkan listrik serta air panas. fuel cell menghasilkan
energi listrik tanpa adanya pembakaran dari bahan bakarnya, sehingga tidak ada
polusi.
Hidrogen sebagai sumber energi alternatif akan mampu
menggantikan pemakaian bahan bakar fosil yang dapat mendekati emisi nol, yaitu
emisi tanpa ada gas/partikel hidrokarbon tanpa CO, CO2, CH.
Table
2. Hasil pengamatan uji daya gas hidrogen
Pengujian
|
Hasil pengamatan
|
Lampu
|
Menyala
|
Kipas
|
Berputar
|
Pembuatan
Tawas dengan KOH 20 % dan NaOH (soda api) 30 %
Proses awal pembuatan tawas dilakukan dengan melarutkan
potongan-potongan aluminium foil yang sudah dipotong kecil-kecil dalam larutan
KOH sambil dipanaskan. Pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat kelarutannya,
karena semakin tinggi suhu dan semakin luas permukaan zat maka kelarutannya
semakin besar.
Pada penambahan KOH reaksi berjalan cepat dan bersifat
eksoterm karena menghasilkan kalor. Dalam reaksi ini terbentuk gas H2
yang ditandai dengan munculnya gelembung- gelembung gas. Gelembung-gelembung
gas hilang setelah semua aluminium bereaksi. Setelah Al larut, dihasilkan
larutan berwarna hitam. Reaksi antar Al dan KOH berlangsung melalui
persamaan berikut :
2Al
(s) + 2KOH (aq) + 2H2O (l)
—————-> 2KAlO2 (aq) + 3H2
(g)
Setelah proses pelarutan selesai, dilakukan proses
penyaringan, proses penyaringan ini bertujuan untuk menyaring ion-ion
pengganggu, dan yang tersisa hanya tinggal filtratnya. filtrat ini kemudian
diambil, dan ditetesi dengan asam sulfat. Proses penambahan asam sulfat ini
dilakukan secara perlahan sambil diaduk, hal ini bertujuan agar semua Al yang
berada di dalamnya dapat bereaksi sempurna dengan pembentukan endapan yang
sempurna secara teratur. Reaksi antar zat yang dihasilkan dari reaksi antar Al
dan KOH dengan asam sulfat menghasilkan endapan yang berwarna putih.
2KAlO2
(aq) +2H2O (l) + H2SO4(aq) ————->
K2SO4(aq) + Al(OH)3 (s)
Warna putih yang terbentuk berasal dari senyawa Al(OH)3.
senyawa Al(OH)3 yang bersifat basa dicampurkan dengan asam sulfat
hingga pHnya asam. Hal tersebut bertujuan untuk membentuk kation-kation (K+
dan Al3+) yang merupakan elemen elemen yang diperlukan untuk
membentuk tawas.
H2SO4(aq)
+ K2SO4(aq) + 2Al(OH)3 (s) ————–>
2KAl(SO4)2 (aq) + 6H2O
Kristal-kristal tawas yang telah didinginkan. Pada saat
pendinginan ini, larutan dibiarkan diudara terbuka hingga dingin, pada saat ini
endapan yang terbentuk adalah KAl(SO4)2.12H2O.
Setelah dingin, dilakukan penyaringan dan Kristal (tawas) yang diperoleh dicuci
dengan larutan 20 mL etanol yang bertujuan untuk menyerap kelebihan air dan
mempercepat pengeringan. Kristal yang terbentuk kemudian disaring dan
dikeringkan. Pada percobaran ini tidak dilakukan analisis titik leleh, sehingga
hanya dilakukan pembuatan tawas dari aluminium foil saja.
24
H2O + 2KAl(SO4)2 (aq) ————->
2KAl(SO4)2.12H2O(s)
Untuk mempercepat terbentuknya Kristal, larutan didinginkan
dalam es. Setelah kristal alum (tawas) sudah terbentuk maka dicuci dengan 20 ml
larutan etanol 50% yang bertujuan untuk menyerap kelebihan air dan mempercepat
pengeringan. Setelah itu, dikeringkan dalam oven, kemudian ditimbang berat
tawas yang diperoleh. Berat tawas yang diperoleh sebesar 5,153 gram.
Percobaan yang kedua yaitu kaleng bekas ditambahkan NaOH
atau soda api 10% sebanyak 50 ml. Pada percobaan ini tidak terbentuk tawas sama
sekali. Kemungkinan tidak terjadinya tawas akibat soda api yang digunakan,
diperoleh dari pasaran bukan dari toko kimia yang menyediakan soda api
murni. Konsentrasi dari soda api juga mempengaruhi pembentukan tawas.
Tabel
3. Hasil pembentukan tawas
No.
|
Reaksi
|
Hasil pengamatan
|
Berat tawas (gram)
|
1
|
Alumunium+ KOH 20%
|
Terbentuk tawas (serbuk putih)
|
5.153 gram
|
2
|
Alumunium+ NaOH 30%
|
Tidak terbentuk tawas
|
-
|
Pengujian tawas dalam penjernihan
air
Tawas
yang telah terbentuk, diuji pada air sungai
untuk dimurnikan. Air sungai di ambil 20 ml lalu dituangkan pada 4 tabung reaksi
masing-masing berisi 10 ml. Berdasarkan hasil pengamatan, air sungai yang
menghasilkan paling banyak endapan adalah air sungai yang diberi tawas 1 gram
dan tidak ada endapan pada air sungai dangan tawas 0.2 gram, dan ada sedikit
endapan pada air sungai dengan tawas 0.4 dan 0.6 gram. Hal ini menunjukkan
semakin besar jumlah tawas yang diberi maka semakin banyak endapan yang
dihasilkan dan semakin jernih hasil airnya.
Perbandingan tawas, batu bata,
zeolit sebagai adsorben dalam penjernihan air
Pada
Pemurnian FeCl3,
tawas dibandingkan dengan 2 adsorben lainnya yaitu zeolit dan batu bata.
Berdasarkan hasil dari penelitian, air sungai yang paling jernih adalah air
yang diberi adsorben zeolit sebagaimana pada gambar 1. Dan air sungai yang
memiliki tingkat kekeruhan paling besar adalah air yang diberi adosrben batu bata.
Sifat zeolit sebagai adsorben dan
penyaring molekul yang baik, dimungkinkan karena struktur zeolit yang
berongga, sehingga zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran
lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu kristal zeolit yang
telah terdehidrasi merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas
adsorpsi yang tinggi.
Gambar
1. Penjernihan FeCl3
dengan adsorben Tawas Zeolit, dan batu
bata.
Referensi
[1] J. H.
Hirschenhofer, D. B. Stauffer, R. R. Engleman, M. G. Klett Fuel Cell
Handbook, 5th Edition, Parsons Corporation, Reading, PA, 2000, for the U.S.
Department of Energy, Office of Fossil Energy, West Virginia.
[2] Thomas, S.
and Zalbowitz, M. Fuel Cells – Green Power, Los Alamos National
Laboratory, U.S. Department of Energy, Office of Advanced Automotive Technologies.
[3] Corrêa, J.
M.; Farret, A. F. and Canha, L. N. “An Analysis of the Dynamic Performance of
Proton
Exchange Membrane Fuel Cells Using an Electrochemical Model”, 27th
Annual Conference of IEEE Industrial Electronics Society, 2001, pp.141-146.
[4] Amphlett, J.
C.; Mann, R. F.; Peppley, B. A., Roberge, P. R. and Rodrigues, A. “A Practical
PEM Fuel Cell Model for Simulating Vehicle Power Sources”, Department of
Chemistry and Chemical Engineering, Royal Military College of Canada, Ontario,
1995, pp.221-226.
[5] Rodrigues,
A.; Amphlett, J. C.; Mann, R. F.; Peppley, B. A. and Roberge, P. R., “Carbon
Monoxide Poisoning of Proton-Exchange Membrane Fuel Cell”, Department of
Chemistry and Chemical Engineering, Royal Military College of Canada, Ontario,
1195, pp.768-773.
[6] Balkin, A.
R., “Modelling a 500W Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell”, Faculty of
Engineering, University of Technology, Sydney, Australia, 2002.
[7] Slade, S.;
Campbell, S. A.; Ralph, T. R. and Walsh, F. C. “Ionic Conductivity of an
Extruded Nafion 1100 EW Series of Membranes”, Journal of The Electrochemical
Society, 2002, no: 49, pp. 1556-1564.
[8] Suzuki, T.; Murata, H.; Hatanaka, T.;
Morimoto Y.; Analysis of the Catalyst Layer of Polymer Electrolyte Fuel Cells,
R&D Review
of Toyota CRDL, volume 39, número 3, 2003.
[9] Benziger,
J.B.; et al.; The auto humidification Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell,
Princeton University, Princeton, 2001.
[10] Passos, R.
R.; Ticianelli, E.A.; Effects of the
Operational
Conditions on the Membrane and Electrode Properties of a Polymer Electrolyte
Fuel Cell, Journal of the Brazilian Chemical Society, number 4, pg.
483-489, 2002.