Kamis, 26 Desember 2013

Jurnal : Produksi Gas Hidrogen Dari Limbah Alumunium Serta Aplikasinya Pada Alat Fuel Cell dan Pemanfaatan Limbah Cair Hasil Produksi Hidrogen Untuk Pembuatan Tawas


Izhar Ibrahim, M. Kemilau Ramadhan, Shofwatunnisa, Windi Azizah F.
Jurusan Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Tahun 2013/2014


Abstrak
Perkembangan penduduk yang semakin cepat langsung berpengaruh pada kerusakan lingkungan dan krisis energi terutama masalah bahan bakar.  Energi yang berasal dari bahan bakar fosil tentunya tak dapat diperbaharui serta dalam pemakainnya akan menghasilkan polusi yakni emisi karbon dari bahan bakar. Oleh karena itu para ahli dan peneliti sedang gencar mencari sumber energi terbarukan yang dapat diperbaharui dan baik bagi lingkungan. Gas hidrogen adalah salah satu energi yang menjajikan untuk masa depan karena selain efisien juga ramah lingkungan. Pada penelitian yang dilaksanakan pada September-Oktober 2013 di PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dilakukan percobaan memproduksi gas hidrogen dari limbah alumunium/alumunium foil yang di uji energinya dengan alat fuel cell dan memanfaatkan limbah cair dari produksi gas hidrogen dalam pembuatan tawas yang berfungsi sebagai absorben. Kesimpulan yang didapat ialahproduksi gas yang paling banyak didapat dari mereaksikan alumunium foil 0,8 gram dan NaOH 3 M sebanyak 100 mL mampu menghasilkan  gas hydrogen yang cukup banyak dibuktikan dari lamanya dalam penggunaan pada alat fuel cell.
Kata kunci : Energi Terbarukan, Fuel cell, Ga hidrogen, Limbah alumunium, Absorben



I. Pendahuluan
Bicara soal energy tentunya tidak akan ada habisnya. Apalagi ditambah persoalan-persoalan yang melanda negeri kita bahkan dunia sekalipun. Jumlah populasi manusia yang kian lama kian meningkat langsung berpengaruh pada energy terutama masalah bahan bakar.  Energi yang berasal dari bahan bakar fosil tentunya tak dapat diperbaharui. Tak hanya itu,isu global pun terus mengharapkan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik dengan mengurangi emisi karbon dari bahan bakar. Oleh karena itu kita sebagai masyarakat harus membangun kreativitas mencari sumber energy alternative lain. Hidrogen sangat menjanjikan sebagai sumber bahan bakar yang selain efisien juga ramah lingkungan. Produksinya bisa melalui jalan mereaksikan antara limbah aluminium foil/kaleng bekas aluminium dengan katalis dalam suasana basa.
Hidrogen adalah energi sekunder sehingga tetap harus diolah dari sumber energi lain, di antaranya selain gas alam adalah gasifikasi batu bara, elektrolisa air, elektrolisa metanol yang masih relatif mahal, terdapat pula perubahan biogas metan yang masih memerlukan energi panas. Untuk mendapatkan terobosan baru proses produksi gas hidrogen, proses bioteknologi, baik itu secara fotosintesis maupun fermentasi adalah pilihan terbaik untuk dapat menghasilkan hidrogen dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Sejumlah spesies jasad renik dari berbagai taksa dan tipe fisiologi mampu menghasilkan bio-hidrogen.
Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari bahan bakar utama hydrogen. Fuel cell merupakan salah satu aplikasinya. Fuel cell adalah perangkat elektronika yang mampu mengonversi perubahan energi bebas suatu rekasi elektronikia menjadi energi listrik. Dengan fuel cell, bahan/senyawa kimia -sebagai sumber energi- akan terus ada selama kita mengisi bahan bakar fuel cell tersebut. senyawa kimia yang paling banyak dipakai dalam fuel cell adalah hidrogen  dan oksigen. kedua senyawa tersebut dipilih karena kelimpahannya di alam sangat banyak. Layaknya sebuah baterai, segala jenis fuel cell memiliki elektroda positif dan negatif atau disebut juga katoda dan anoda. Reaksi kimia yang menghasilkan listrik terjadi pada elektroda. Selain elektroda, satu unit fuel cell terdapat elektrolit yang akan membawa muatan-muatan listrik dari satu elektroda ke elektroda lain, serta katalis yang akan mempercepat reaksi di elektroda. Umumnya yang membedakan jenis-jenis fuel cell adalah material elektrolit yang digunakan. Arus listrik serta panas yang dihasilkan setiap jenis fuel cell merupakan produk samping reaksi kimia yang terjadi di katoda dan anoda.
Selain fuel cell,limbah hasil produksi gas hydrogen memakai aluminium foil dengan katalis basa juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tawas. Tawas atau Alum adalah suatu kristal sulfat dari logam-logam seperti Li,K,Ca,Al, dan logam-logam lainnya. Kristal tawas ini cukup mudah larut dalam air, dan kelarutannya berbeda-beda tergantung pada jenis logam dan suhu. Tawas telah dikenal sebagai flocculator yang berfungsi untuk menggumpalkan kotoran-kotoran pada proses penjernihan air. Selain itu, tawas juga digunakan sebagai deodorant, karena sifat antibakterinya.
Alum atau tawas merupakan salah satu senyawa kimia yang dibuat dari dari molekul air dan dua jenis garam, salah satunya biasanya Al2(SO4)3. Alum kalium, juga sering dikenal dengan alum, mempunyai rumus formula yaitu K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O. Alum kalium merupakan jenis alum yang paling penting. Alum kalium merupakan senyawa yang tidak berwarna dan mempunyai bentuk kristal oktahedral atau kubus ketika kalium sulfat dan aluminium sulfat keduanya dilarutkan dan didinginkan. Larutan alum kalium tersebut bersifat asam. Alum kalium sangat larut dalam air panas. Ketika kristalin alum kalium dipanaskan terjadi pemisahan secara kimia, dan sebagian garam yang terdehidrasi terlarut dalam air.

II. Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada September-Oktober 2013 di Laboratorium Kimia Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah reaktor hidrogen, alat penyimpan hidrogen, alat fuel cell, balon, beaker glass, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, corong buchner, pipet tetes, rak tabung reaksi, cawan petri, kertas saring, batang pengaduk, tisu, korek api, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan adalah alumunium foil, NaOH, es batu, KOH, H2SO4 (air aki), etanol,  FeCl3,  Zeolit, Tawas (pasar), Batu bata, air sungai dan aquadest.

Produksi Gas Hidrogen dari Alumunium
Aluminium foil ditimbang masing-masing dengan berat  0.1 g; 0.2 g ;0.4 g; 0.8 g. Diisi Beaker glass dengan air sampai 1/2 nya. Diisi botol dengan caustic soda (NaOH) 50 ml. 0.1 g aluminium foil dimasukkan ke dalam botol. Botol ditutup dengan balon. Direndam botol dalam air pada Beaker glass yang telah diisi air. Setelah balon melembung besar, lepaslah dari botol dan ikatlah dengan benang. Diulangi percobaan pertama dengan Aluminium foil 0.2 g ;0.4 g; 0.8 g masing-masing menggunakan NaOH 50 ml. Diukur keliling setiap balon, hitung volume gas hidrogen yang dihasilkan. Uji balon dengan membasahi tisu yang telah dipasang pada balon dengan etanol, kemudian tisu tersebut dibakar dengan api.

Uji Daya Gas Hidrogen
Dirangkai alat tempat penyimpanan hidrogen. Diisi botol kaca dengan larutan NaOH 3 M sebanyak 50 mL. Ditimbang alumunium foil sebanyak 0.8 gram, dimasukkan alumunium foil ke dalam  botol yang berisi NaOH. Tutup botol dengan cepat (agar gas tidak keluar). ditutup dan dilepas knock pada botol plastik jika botol sudah mengembang (terisi oleh gas). Untuk uji gas hidrogen yang dihasilkan, dipasang kembali knock pada tutup botol yg berisi gas. Dinyalakan alat penghisap oksigen pada fuel cell. Disambungkan alat fuel cell dengan selang. Ditekan knock agar gas dapat keluar sambil botol plastik ditekan.

Pembuatan Tawas dengan KOH 20 %
Disiapkan alat dan bahan. Dibuat larutan KOH 20%. Alumnunium foil dipotong menjadi bagian yang kecil. Potongan-potongan Alumnunium foil ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL ditambahkan KOH 20% sebanyak 30 mL dan dipanaskan dengan api kecil. Proses pemanasan dihentikan sampai gelembung-gelembung gas hilang. Larutan tersebut disaring lalu didinginkan kemudian ditambahkan dengan hati-hati 30 mL   H2SO4 6 M (air aki) sambil diaduk. Setelah itu dilakukan penyaringan. Larutan didinginkan di dalam es. Kristal tawas yang terbentuk dipisahkan dengan corong Buchner dan dicuci dengan etanol 20 mL. Endapan dikeringkan, setelah kering kemudian ditimbang sampai beratnya konstan.

Pembuatan Tawas dengan NaOH (soda api) 30 %
Disiapkan alat dan bahan. Dibuat larutan NaOH 30%.  Alumnunium foil dipotong menjadi bagian yang kecil. Potongan-potongan Alumnunium foil ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL ditambahkan NaOH 30% sebanyak 25 mL dan dipanaskan dengan api kecil. Diulangi prosedur 5-9 diatas untuk pembuatan tawas dengan menggunakan soda api.

Pengujian tawas dalam penjernihan air
Tawas ditimbang masing-masing dengan massa 0.2 gram ; 0.4 gram ; 0.6 gram dan 1 gram. Dimasukkan kedalam 4 tabung reaksi masing-masing 10 ml air sungai. Dimasukkan tawas ke dalam tabung reaksi, lalu dihomogenkan dan didiamkan.

Perbandingan tawas, batu bata, zeolit sebagai adsorben dalam penjernihan air
Dimasukkan 10 ml FeCl3 1% ke dalam 3 tabung reaksi. Dimasukkan masing-masing 5 gram tawas, batu bata, dan zeolit ke 3 tabung rekasi. Dihomogenkan dan didiamkan.

III. Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian kali ini kami melakukan pemanfaatan alumunium yang dapat dikonversikan menjadi produk yang dapat bermanfaat, yaitu produksi gas hidrogen dan pembuatan tawas.

Produksi Gas Hidrogen dari Alumunium
Ketika sepotong aluminium foil dicelupkan ke dalam larutan natrium hidroksida, terbentuk gas yang  tidak berwarna dan tidak berbau. Gas inilah yang dinamakan gas hidrogen. Hal ini terjadi karena logam aluminium yang bersifat amfoter.  Reaksi logam dengan asam akan menghasilkan garam dan hidrogen. Persamaan reaksinya adalah :
2Al(s) + 6H2O  →  2Al (OH)3 + 3H2(g)
Partikel-partikel gas hidrogen melayang-layang sehingga menimbulkan adanya tumbukan antara partikel gas hidrogen dan dinding balon. Tumbukan ini mengakibatkan adanya dorongan yang kemudian menghasilkan tekanan. Partikel-partikel ini menyebar ke segala arah, menekan dinding balon menyebabkan gas tersebut mengisi semua ruang dalam balon sehingga balon dapat mengembang. Mengembangnya balon membuktikan adanya gas sebagai hasil reaksi.
        Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, jumlah massa alumunium berpengaruh terhadap lamanya reaksi, besarnya tekanan dan produksi gas hidrogen. Hal ini dapat diamati dari balon yang  terbentuk. Volume dan tekanan gas meningkat seiring dengan bertambahnya massa dari alumunium foil. Dari hasil pengamatan, keliling balon  dari reaksi  0.1 g alumunium foil dengan 50 ml NaOH 1 M adalah 19.2 cm. Jika dibandingkan dengan massa alumunium foil 0.2 g; 0.4 g; 0.8 g secara berturut-turut adalah 21 cm; 28.6 cm; 37.5 cm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar keliling balon, semakin besar pula volume  gas  yang dihasilkan. Yaitu, 119.36L; 156.26 L; 394.73 L; dan 889.8 L secara berurutan dari 0.1 g hingga 0.8 g.
           Reaksi antara aluminium dengan NaOH merupakan jenis reaksi eksoterm. Hal ini dapat dibuktikan dengan memegang erlenmeyer yang terasa panas pada saat terjadinya reaksi jika dibandingkan dengan sebelum bereaksi.
          Adanya ledakan pada balon yang diuji dengan api membuktikan bahwa gas tersebut adalah gas hidrogen, karena sifatnya sangat mudah terbakar dan akan terbakar pada konsentrasi serendah 4% H2 di udara bebas. Hidrogen terbakar menurut persamaan kimia:
2 H2(g) + O2(g) → 2 H2O(l)
Ketika dicampur dengan oksigen dalam berbagai perbandingan, hidrogen meledak seketika disulut dengan api.
Table 1. Hasil pengamatan produksi gas hidrogen.
No.
Aluminium foil
Keliling balon
1
0,1 g
19.2 cm
2
0.2 g
21  cm
3
0.4 g
28.6 cm
4
0.8 g
37.5 cm

Uji Daya Gas Hidrogen
Kemudian dilakukan produksi dan pengujian gas hidrogen dengan menggunakan hydrogen storage (tempat penyimpanan hidrogen) sederhana yang telah dirangkai dan alat fuel cell. Percobaan ini bertujuan untuk menguji apakah gas hidrogen dapat berperan sebagai sumber energi yang digunakan pada sistem fuel cell dalam menghasilkan listrik. Reaksi antara 0.8 gram alumunium foil dengan NaOH 3 M 100 mL menghasilkan gas hidrogen dengan tekanan yang hebat. Gas hidrogen yang terbentuk kemudian disimpan di dalam hydrogen storage. Harus dipastikan bahwa hydrogen storage yang digunakan harus rapat sehingga tidak ada celah bagi gas hidrogen untuk keluar (adanya kebocoran). Berdasarkan hasil pengamatan, hydrogen storage yang digunakan berhasil menampung seluruh gas hidrogen hasil reaksi. Hal ini dapat diketahui dari botol plastik sebagai hydrogen storage mengembang ketika reaksi berlangsung
Pada pengujian gas hidrogen dengan alat fuel cell, dapat diamati bahwa gas hidrogen yang dialirkan dapat memutar kincir, namun lampu hanya menyala redup. Gas hidrogen yang dihasilkan harus membuat kincir berputar dan juga membuat lampu menyala. Faktor yang membuat lampu menyala redup adalah penggunaan botol plastik sebagai tempat untuk menyimpan gas yang dihasilkan. Sifat dari botol plastik yang kaku tidak dapat membuat gas hidrogen mengalir secara sempurna, sehingga watt yang dihasilkan kecil dan tidak cukup untuk membuat lampu menyala terang. Namun, Kincir yang bergerak serta lampu yang menyala walaupun tidak ternag, cukup menunjukkan bahwa gas hidrogen dapat digunakan sebagai sumber energi untuk dapat menghasilkan listrik.
Prinsip kerja alat fuel cell adalah proses elektrokimia di mana hidrogen dan oksigen digunakan sebagai bahan bakar. Komponen utama fuel cell terdiri dari elektrolit berupa lapisan khusus yang diletakkan di antara dua buah elektroda. Proses kimia yang disebut pertukaran ion terjadi di dalam elektrolit ini dan menghasilkan listrik serta air panas. fuel cell menghasilkan energi listrik tanpa adanya pembakaran dari bahan bakarnya, sehingga tidak ada polusi.  
Hidrogen sebagai sumber energi alternatif akan mampu menggantikan pemakaian bahan bakar fosil yang dapat mendekati emisi nol, yaitu emisi tanpa ada gas/partikel hidrokarbon tanpa CO, CO2, CH.
Table 2. Hasil pengamatan uji daya gas hidrogen
Pengujian
Hasil pengamatan
Lampu
Menyala
Kipas
Berputar

Pembuatan Tawas dengan KOH 20 % dan NaOH (soda api) 30 %
Proses awal pembuatan tawas dilakukan dengan melarutkan potongan-potongan aluminium foil yang sudah dipotong kecil-kecil dalam larutan KOH sambil dipanaskan. Pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat kelarutannya, karena semakin tinggi suhu dan semakin luas permukaan zat maka kelarutannya semakin besar.
Pada penambahan KOH reaksi berjalan cepat dan bersifat eksoterm karena menghasilkan kalor. Dalam reaksi ini terbentuk gas H2 yang ditandai dengan munculnya gelembung- gelembung gas. Gelembung-gelembung gas hilang setelah semua aluminium bereaksi. Setelah Al larut, dihasilkan larutan berwarna  hitam. Reaksi antar Al dan KOH berlangsung melalui persamaan berikut : 
2Al (s) + 2KOH (aq) + 2H2O (l)      —————->       2KAlO2 (aq) + 3H2 (g)
Setelah proses pelarutan selesai, dilakukan proses penyaringan, proses penyaringan ini bertujuan untuk menyaring ion-ion pengganggu, dan yang tersisa hanya tinggal filtratnya. filtrat ini kemudian diambil, dan ditetesi dengan asam sulfat. Proses penambahan asam sulfat ini dilakukan secara perlahan sambil diaduk, hal ini bertujuan agar semua Al yang berada di dalamnya dapat bereaksi sempurna dengan pembentukan endapan yang sempurna secara teratur. Reaksi antar zat yang dihasilkan dari reaksi antar Al dan KOH dengan asam sulfat menghasilkan endapan yang berwarna putih.
2KAlO2 (aq) +2H2O (l) + H2SO4(aq) ————->    K2SO4(aq) + Al(OH)3 (s)
Warna putih yang terbentuk berasal dari senyawa Al(OH)3. senyawa Al(OH)3 yang bersifat basa dicampurkan dengan asam sulfat hingga pHnya asam. Hal tersebut bertujuan untuk membentuk kation-kation (K+ dan Al3+) yang merupakan elemen elemen yang diperlukan untuk membentuk tawas.
H2SO4(aq) + K2SO4(aq) + 2Al(OH)3 (s)   ————–>        2KAl(SO4)2 (aq) + 6H2O
Kristal-kristal tawas yang telah didinginkan. Pada saat pendinginan ini, larutan dibiarkan diudara terbuka hingga dingin, pada saat ini endapan yang terbentuk adalah KAl(SO4)2.12H2O. Setelah dingin, dilakukan penyaringan dan Kristal (tawas) yang diperoleh dicuci dengan larutan 20 mL etanol yang bertujuan untuk menyerap kelebihan air dan mempercepat pengeringan. Kristal yang terbentuk kemudian disaring dan dikeringkan. Pada percobaran ini tidak dilakukan analisis titik leleh, sehingga hanya dilakukan pembuatan tawas dari aluminium foil saja.
24 H2O + 2KAl(SO4)2 (aq)   ————->      2KAl(SO4)2.12H2O(s)
Untuk mempercepat terbentuknya Kristal, larutan didinginkan dalam es. Setelah kristal alum (tawas) sudah terbentuk maka dicuci dengan 20 ml larutan etanol 50% yang bertujuan untuk menyerap kelebihan air dan mempercepat pengeringan. Setelah itu, dikeringkan dalam oven, kemudian ditimbang berat tawas yang diperoleh. Berat tawas yang diperoleh sebesar  5,153 gram.
Percobaan yang kedua yaitu kaleng bekas ditambahkan NaOH atau soda api 10% sebanyak 50 ml. Pada percobaan ini tidak terbentuk tawas sama sekali. Kemungkinan tidak terjadinya tawas akibat soda api yang digunakan, diperoleh dari pasaran  bukan dari toko kimia yang menyediakan soda api murni.  Konsentrasi dari soda api juga mempengaruhi pembentukan tawas.
Tabel 3. Hasil pembentukan tawas
No.
Reaksi
Hasil pengamatan
Berat tawas (gram)
1
Alumunium+ KOH 20%
Terbentuk tawas (serbuk putih)
5.153 gram
2
Alumunium+ NaOH 30%
Tidak terbentuk tawas
-

Pengujian tawas dalam penjernihan air
            Tawas yang telah terbentuk, diuji pada air sungai  untuk dimurnikan. Air sungai di ambil 20 ml  lalu dituangkan pada 4 tabung reaksi masing-masing berisi 10 ml. Berdasarkan hasil pengamatan, air sungai yang menghasilkan paling banyak endapan adalah air sungai yang diberi tawas 1 gram dan tidak ada endapan pada air sungai dangan tawas 0.2 gram, dan ada sedikit endapan pada air sungai dengan tawas 0.4 dan 0.6 gram. Hal ini menunjukkan semakin besar jumlah tawas yang diberi maka semakin banyak endapan yang dihasilkan dan semakin jernih hasil airnya.
Perbandingan tawas, batu bata, zeolit sebagai adsorben dalam penjernihan air                      
Pada Pemurnian FeCl3, tawas dibandingkan dengan 2 adsorben lainnya yaitu zeolit dan batu bata. Berdasarkan hasil dari penelitian, air sungai yang paling jernih adalah air yang diberi adsorben zeolit sebagaimana pada gambar 1. Dan air sungai yang memiliki tingkat kekeruhan paling besar adalah air yang diberi adosrben batu bata. Sifat zeolit sebagai adsorben dan penyaring molekul yang baik, dimungkinkan karena struktur zeolit yang berongga, sehingga zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu kristal zeolit yang telah terdehidrasi merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas adsorpsi yang tinggi.

Gambar 1. Penjernihan FeCl3 dengan adsorben Tawas Zeolit, dan batu bata.
Referensi

[1] J. H. Hirschenhofer, D. B. Stauffer, R. R. Engleman, M. G. Klett Fuel Cell Handbook, 5th Edition, Parsons Corporation, Reading, PA, 2000, for the U.S. Department of Energy, Office of Fossil Energy, West Virginia.
[2] Thomas, S. and Zalbowitz, M. Fuel Cells – Green Power, Los Alamos National Laboratory, U.S. Department of Energy, Office of Advanced Automotive Technologies.
[3] Corrêa, J. M.; Farret, A. F. and Canha, L. N. “An Analysis of the Dynamic Performance of Proton 
Exchange Membrane Fuel Cells Using an Electrochemical Model”, 27th Annual Conference of IEEE Industrial Electronics Society, 2001, pp.141-146.

[4] Amphlett, J. C.; Mann, R. F.; Peppley, B. A., Roberge, P. R. and Rodrigues, A. “A Practical PEM Fuel Cell Model for Simulating Vehicle Power Sources”, Department of Chemistry and Chemical Engineering, Royal Military College of Canada, Ontario, 1995, pp.221-226.
[5] Rodrigues, A.; Amphlett, J. C.; Mann, R. F.; Peppley, B. A. and Roberge, P. R., “Carbon Monoxide Poisoning of Proton-Exchange Membrane Fuel Cell”, Department of Chemistry and Chemical Engineering, Royal Military College of Canada, Ontario, 1195, pp.768-773.
[6] Balkin, A. R., “Modelling a 500W Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell”, Faculty of Engineering, University of Technology, Sydney, Australia, 2002.
[7] Slade, S.; Campbell, S. A.; Ralph, T. R. and Walsh, F. C. “Ionic Conductivity of an Extruded Nafion 1100 EW Series of Membranes”, Journal of The Electrochemical Society, 2002, no: 49, pp. 1556-1564.
[8] Suzuki, T.; Murata, H.; Hatanaka, T.; Morimoto Y.; Analysis of the Catalyst Layer of Polymer Electrolyte Fuel Cells

R&D Review of Toyota CRDL, volume 39, número 3, 2003.
[9] Benziger, J.B.; et al.; The auto humidification Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell, Princeton University, Princeton, 2001.
[10] Passos, R. R.; Ticianelli, E.A.; Effects of the
Operational Conditions on the Membrane and Electrode Properties of a Polymer Electrolyte Fuel Cell, Journal of the Brazilian Chemical Society, number 4, pg. 483-489, 2002.

Pembuatan Garam Mohr



I. TUJUAN
Mengetahui prosedur pembuatan garam mohr atau besi (II) ammonium sulfat (NH4)2Fe(SO4)2.6H2O

II. DASAR TEORI
Unsur besi (Fe) dalam suatu sistem Periodik Unsur (SPU) termasuk ke dalam golongan VIII. Besi dapat dibuat dari biji besi dalam tungku pemanas. Biji besi biasanya mengandung Fe2O3 yang dikotori oleh pasir (SiO2) sekitar 10%, serta sedikit senyawa sulfur, fosfor, aluminium, dan mangan. Besi dapat pula dimagnetkan.
Endapan pasir besi, dapat memiliki mineral-mineral magnetik seperti magnetik (Fe3O4), hematit (α- Fe2O3), dan maghemit (γ- Fe2O3). Mineral-mineral tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bahan industri. Magnetit, misalnya, dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk tinta kering (toner) pada mesin photo-copy dan printer laser, sementara maghemit adalah bahan utama untuk pita-kaset.
Ion besi (II) dapat mudah dioksidasikan menjadi Fe (III), maka merupakan zat pereduksi yang kuat. Semakin kurang asam larutan itu, semakin nyatalah efek ini; dalam suasana netral atau basa bahkan oksigen dari atmosfer akan mengoksidasikan ion besi (II). Garam-garam besi (III) atau feri diturunkan dari oksida besi (III), Fe2O3. Mereka lebih stabil daripada garam besi (II). Dalam larutannya, terdapat kation-kation Fe3+ yang berwarna kuning muda; jika larutan mengandung klorida, warna menjadi semakin kuat. Zat-zat pereduksi mengubah ion besi (III) menjadi besi (II). Ion ferro [Fe(H2O)6]2+ memberikan garam berkristal.
Besi yang sangat halus bersifat pirofor. Logamnya mudah larut dalam asam mineral. Dengan asam bukan pengoksidasi tanpa udara, diperoleh Fe2+. Dengan adanya udara atau bila digunakan HNO3 encer panas, sejumlah besi menjadi Fe (III). Asam klorida encer atau pekat dan asam sulfat encer melarutkan besi, pada mana dihasilkan garam-garam besi (II) dan gas hydrogen. Besi murni cukup reaktif. Dalam udara lembap cepat teroksidasi memberikan besi (III) oksida hidrat (karat) yang tidak sanggup melindungi, karena zat ini hancur dan membiarkan permukaan logam yang baru terbuka.
Pemisahan pasir besi dilakukan dengan cara mekanik, yaitu menggunakan mekanik separator, dengan cara ini dihasilkan konsentrasi pasir besi. Selanjutnya dengan menambahkan bahan pengikat dan memanaskan kuat, konsentrasi pasir besi dijadikan butiran besi (pellet). Pellet ini dapat dibentuk menjadi besi setengah jadi (billet).
Pemisahan besi dilakukan dengan mereduksi besi oksida menggunakan kokas dalam tanur. Besi yang diperoleh mengandung 95% Fe dan 3-4% O, serta sedikit campuran besi kasar lantakan (pigiron). Besi tuang diperoleh dengan menuangkan besi kasar dan rapuh dan hanya digunakan jika tidak menahan getaran mekanik atau panas misalnya pada mesin dan rem.
Suatu bahan yang digunakan dalam proses peleburan besi yaitu biji besi, batu kapur (CaCO3) dan kokas(C). Semua dimasukkan dari atas menara. Pada bagian bawah dipompakan udara yang mengandung oksigen. Salah satu kereakitfan besi yang merugikan secara ekonomi adalah korosi, penyebabnya adalah udara dan uap air membentuk Fe2O3. Bilangan oksidasi besi adalah +2 dan +3, tetapi umumnya besi (II) lebih mudah teroksidasi spontan menjadi besi (III). Oksidasi besi yang telah dikenal adalah FeO, Fe2O3, dan Fe3O4. Oksidasi FeO sulit dibuat karena terdisproporsionasi menjadi Fe dan Fe2O3.
Adapun sifat-sifat yang dimiliki dari unsur besi yaitu besi mudah berkarat dalam udara lembab dengan terbentuknya karat (Fe2O3.nH2O), yang tidak melindungi besinya dari perkaratan lebih lanjut, maka dari itu biasanya besi di tutup dengan lapisan logam zat – zat lain seperti timah, nikel, seng dan lain – lain. Suatu besi jika dalam keadaan pijar besi dapat menyusul O dan H2O (uap) dengan membentuk H2 dan Fe3O4. Sedangkan jika di pijarkan di udara, besi akan membentuk Fe2O3 (ferri oksida) dan menggerisik, serta jika suatu besi tidak termakan oleh basa, besi dapat larut dalam asam sulfat encer dan asam klorida dengan membentuk H2, asam sulfat pekat tidak memakan besi.
Garam-garam unsur triad besi biasanya terkristal dari larutan sebagai hidrat. Jika diletakkan pada uap lembab atmosfer, tergantung pada tekanan parsial H2O, hidrat dapat terjadi dalam warna-warna yang berbeda. Pada udara kering, air hidrat lepas dan padatan berangsur-angsur berubah warna menjadi merah muda. Senyawa besi (II) menghasilkan endapan biru turnbull, jika direaksikan dengan heksasianoferrat (III).
Besi membentuk dua deret garam yang penting. Garam-garam besi (II) (atau ferro) diturunkan dari besi (II) oksida , FeO. Dalam larutan, garam-garam ini mengandung kation Fe2+ dan berwarna sedikit hijau. Ion-ion gabungan dan kompleks-kompleks yang berwarna tua adalah juga umum. Ion besi (II) dapat mudah dioksidasi menjadi besi (III), maka merupakan zat pereduksi yang kuat. Semakin kurang asam larutan itu, semakin nyatalah efek ini, dalam suasana netral atau basa bahkan oksigen dari atmosfer akan mengoksidasi ion besi (II). Maka larutan besi (II) harus sedikit asam bila ingin disimpan untuk waktu yang agak lama.
Garam Mohr (NH4)2SO4.[Fe(H2O)6]SO4 cukup stabil terhadap udara dan terhadap hilangnya air, dan umumnya dipakai untuk membuat larutan baku Fe2+ bagi analisis volumetrik dan sebagai zat pengkalibrasi dalam pengukuran magnetik. Sebaiknya FeSO4.7H2O secara lambat melapuk dan berubah menjadi kuning coklat bila dibiarkan dalam udara. Penambahan HCO3- atau SH- kepada larutan akua Fe2+ berturut-turut mengendapkan FeCO3 dan FeS. Ion Fe2+ teroksidasi dalam larutan asam oleh udara menjadi Fe3+. Dengan ligan-ligan selain air yang ada, perubahan nyata dalam potensial bias terjadi, dan system Fe2+ – Fe3+ merupakan contoh yang baik sekali mengenai efek ligan kepada kestabilan relatif dari tingkat oksidasi.
Ion ferro [Fe(H2O)6]2+ memberikan garam berkristal. Garam mohr (NH4)2SO4. Fe(H2O)6 SO4 cukup stabil terhadap udara dan terhadap hilangnya air, dan umumnya dipakai untuk membuat larutan baku Fe2+ bagi analisis volumetri, dan sebagai zat pengkalibrasi dalam pengukuran magnetik. Sebaliknya FeSO4.7H2O secara lambat melapuk dan berubah menjadi kuning cokelat bila dibiarkan dalam udara.

III. METODE PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN
Alat :

      beaker glass
      Erlenmeyer
      gelas ukur
      kertas saring
      corong
      batang pengaduk
      timbangan analitik
      heater
      pH indikator
      alumunium foilBahan :
      Serbuk besi
      Asam sulfat 10%
      Ammonia pekat

B. PROSEDUR KERJA
a. Larutan A
1). Dilarutkan 3.5 gram serbuk besi ke dalam 50 mL asam sulfat 10%
2). Dipanaskan hingga semua serbuk besi larut, dan disaring saat masih dalam keadaan panas
3). Ditambahkan sedikit asam sulfat pekat dan diuapkan hingga larutan

b. Larutan B
1). Dinetralkan 50 ml H2SO4 10% dengan amoniak. 
2). Diuapkan larutan NH3 sampai jenuh.


c. Dicampurkan larutan A dan B
1). Sementara panas, dicampurkan larutan A dan B
2). Didinginkan larutan yang diperoleh hingga terbentuk kristal berwarna hijau muda
3). Garam Mohr murni dapat diperoleh dengan cara dilarutkan kembali dalam sedikit mungkin air panas
4). Dibiarkan mengkristal
5). Ditimbang garam Mohr yang diperoleh
6). Dihitung tingkat kemurnian kristal
 
V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A. Perhitungan
      Mencari mol garam mohr
Mol Fe = mol garam mohr
Mol Fe = gr Fe/ Mr Fe
= 3.5 /56
= 0.0625 Mol
      Mencari massa garam mohr
Gr = Mol Mohr x Mr Mohr
= 0.0625 x 390
= 24.375 gr
      Kemurnian
Kemurnian = Garam mohr percobaan / Garam mohr teori x 100 %
= 5.15 gr / 24.375 gr x 100 %
= 0.00211 %

B. Pembahasan
Pada percobaan ini dilakukan pembuatan garam mohr atau besi (II) ammonium sulfat (NH4)2Fe(SO4)2.6H2O.  Pada praktikum ini garam mohr dibuat dari reaksi besi dengan asam sulfat dan larutan amoniak. Besi yang digunakan dalam percobaan ini adalah besi serbuk. Maksud penggunaan besi serbuk ini adalah mempercepat reaksi, karena laju reaksi berbanding lurus dengan luas permukaan zat. Besi direaksikan dengan H2SO4 dengan pemanasan. Saat dipanaskan dengan asam sulfat perlahan-lahan serbuk besi larut, hal ini disebabkan karena asam sulfat merupakan  pelarut yang mengandung proton yang dapat diionkan dan bersifat asam kuat atau lemah. Tujuan pemanasan yang dilakukan pada pelarutan ini untuk menghilangkan gas H2 dan mempercepat pembentukan ion Fe2+ yang ditandai dengan terbentuknya hablur berwarna kehijauan. Selain itu, pemanasan mempercepat terjadinya reaksi antara besi dengan asam sulfat sehingga hampir semua serbuk besi dapat melarut.
Langkah selanjutnya adalah menetralkan H2SO4 dengan NH3. sehingga dihasilkan larutan (NH4)2SO4 dengan pH=7 (netral). Larutan ini kemudian dipanaskan sampai jenuh (volume menjadi setengahnya) dengan tujuan untuk menguapkan NH3 yang mungkin tidak bereaksi dengan H2SO4.
Penambahan (NH4)2SO4 ini dilakukan dalam keadaan panas sehingga terbentuk larutan berwarna jernih kehijauan (telah terbentuk garam mohr). Larutan ini kemudian diuapkan sampai volumenya tinggal setengah, lalu didinginkan. Garam Mohr murni dapat diperoleh dengan cara dilarutkan kembali dalam sedikit mungkin air panas. Kemudian dibiarkan mengkristal hingga terbentuk kristal garam mohr berupa kristal monoklin yang berwarna hijau kebiruan karena adanya Fe dengan (NH4)2SO4 yang membentuk senyawa kompleks.           
Reaksi yang terjadi selama proses sintesis garam mohr adalah sebagai berikut :

NH3 + H2O
----> NH4OH

2 NH4OH + H2SO4 
----> (NH4)2SO4 + 2 H2O

Fe + H2SO4 ---->
FeSO4 + H2

(NH4)2SO4 + Fe + 6 H2O
----> (NH4)2SO4.[Fe(H2O)6]SO4

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, diketahui garam mohr yang dihasilkan adalah 5.15 gram, dengan tingkat kemurnian sebesar 0.00211 %.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa garam mohr dibuat dari reaksi besi dengan asam sulfat dan larutan amoniak. Diketahui bahwa Garam Mohr yang dihasilkan adalah 5.15 gram, dengan tingkat kemurnian sebesar 0.00211 %.

VII. DAFTAR PUSTAKA
Cotton and Wikinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta: UI- Press.
Harjadi, W. 1989. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Erlangga.
      Chalid, Sri Yadial. 2011. Penuntun Praktikum Kimia Anorganik. Jakarta : UIN Syarif
                  Hidayatullah.

LAMPIRAN


 


Gambar 1. Garam mohr yang sedang disaring
 
 
 

Gambar 2 dan 3. Garam mohr yang telah disaring